Otoritas Gerejawi Dan Identitas Katolik: Kajian Yuridis Atas Kanon 300 dan 312 § 2 Terhadap Klaim Kepemilikan Lembaga Pendidikan Katolik Oleh Tarekat Religius
Oleh: Rm.Yohanes Subani, Pr
Dalam dinamika pastoral dan karya pendidikan Gereja Katolik dewasa ini, tidak sedikit tarekat religius yang mendirikan atau mengelola institusi pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga universitas. Namun, seringkali muncul persoalan ketika tarekat tersebut secara sepihak mengklaim lembaga-lembaga itu sebagai “milik kongregasi” atau menggunakan sebutan “Katolik” tanpa koordinasi yang memadai dengan otoritas gerejawi yang berwenang. Hal ini menimbulkan pertanyaan yuridis yang serius: apakah klaim tersebut sah menurut hukum Gereja? Kanon 300 dan 312 §2 memberikan titik tolak penting untuk menelusuri permasalahan ini secara mendalam.
1. Kanon 300: Nama “Katolik” Bukan Hak Otomatis
Kanon 300 menyatakan: “Tak satu pun perserikatan boleh memakai nama “Katolik” kecuali dengan persetujuan otoritas Gerejawi yang berwenang, menurut norma kanon 312.”[1]
Kanon ini menegaskan bahwa pemakaian nama “Katolik” bukan sekadar label kultural atau historis, melainkan menyangkut identitas eklesial yang perlu dijaga oleh otoritas Gereja. Bahkan tarekat religius yang secara sah diakui oleh Takhta Suci tidak otomatis memiliki wewenang untuk menyebut setiap karya atau lembaganya sebagai “Katolik” tanpa izin eksplisit. Hal ini dimaksudkan agar keharmonisan iman, ajaran, dan kesatuan Gereja tetap terjamin dalam lembaga-lembaga yang membawa nama Gereja itu sendiri.
2. Kanon 312 §2: Wewenang Uskup Diosesan dalam Pendirian Yayasan Katolik
Lebih lanjut, Kanon 312 §2 menyatakan: “Untuk mendirikan asosiasi-asosiasi privat orang beriman yang bertujuan kerasulan di dalam suatu keuskupan, wewenang itu ada pada Uskup diosesan…”[2]
Ini berarti bahwa dalam ranah teritorial sebuah keuskupan, sekalipun suatu tarekat memiliki izin berdiri secara pontifikal, setiap pendirian karya kerasulan – termasuk pendidikan – tetap berada dalam pengawasan dan memerlukan persetujuan Uskup Diosesan. Dengan demikian, klaim sebuah tarekat terhadap sekolah atau universitas Katolik sebagai milik eksklusifnya, tanpa merujuk pada wewenang Uskup, bertentangan dengan norma kanonik yang berlaku. Pendirian atau penyelenggaraan sekolah Katolik oleh tarekat religius memerlukan persetujuan uskup dan karena itu uskup diosesan memiliki hak pengawasan atas sekolah-sekolah Katolik[3]. Gereja memiliki hak untuk mendirikan dan memimpin universitas-universitas Katolik dengan persetujuan otoritas gerejawi yang berwenang.[4]
3. Ex Corde Ecclesiae dan Identitas Universitas Katolik
Dokumen apostolik Ex Corde Ecclesiae (1990) menguatkan prinsip ini dengan menggaris-bawahi kebenaran tak terbantahkan bahwa universitas Katolik adalah bagian dari misi Gereja dan harus berada dalam persekutuan dengan hierarki gerejawi.[5] Dokumen Apostolik Corde Ecclesiae menyatakan bahwa sebuah universitas Katolik harus mendapatkan pengakuan formal dari otoritas gerejawi yang kompeten. Dengan kata lain, tidak cukup hanya karena universitas itu dikelola oleh suatu tarekat religius, lalu secara otomatis dianggap Katolik dan diklaim miliknya, apa lagi Universitas Katolik yang dalam Sejarah pendiriannya melibatkan para Uskup Diosesan. Kitab Hukum Kanonik 1983 secara tegas tidak menyebut seorang uskup dari salah satu kongregasi sebagai Uskup Kongregasi atau uskup Tarekat ini dan itu tetapi Uskup Diosesan.[6]
4. Analisis Aplikatif: Tantangan dan Praktik Tarekat
Secara praktis, banyak tarekat religius mendirikan yayasan pendidikan dengan struktur hukum sipil yang sah, bahkan disahkan oleh negara. Namun, hal ini tidak serta-merta menggugurkan ketentuan kanonik yang berlaku dalam Gereja Katolik. Kepemilikan hukum sipil tidak mengesampingkan tanggung jawab moral dan yuridis terhadap Gereja Universal dan Gereja Partikular. Jika lembaga-lembaga tersebut mengaku sebagai Katolik, maka ia wajib tunduk pada norma kanonik, termasuk supervisi dari Uskup setempat dan/atau otoritas hierarkis yang berwenang.[7]
Dalam beberapa kasus, terdapat universitas atau sekolah yang mencantumkan identitas Katolik tanpa pernah menerima persetujuan eksplisit dari Uskup Diosesan, atau bahkan tanpa menjalin komunikasi sama sekali dengan kuria keuskupan. Praktik semacam ini berisiko merusak kesatuan Gereja dan menimbulkan skandal pastoral karena publik dapat salah memahami identitas institusi tersebut sebagai bagian resmi dari Gereja Katolik[8].
5. Menuju Kesetiaan Struktural dan Spiritualitas Komunio
Kanon 300 dan 312 §2 tidak dimaksudkan untuk membatasi karya misi, tetapi untuk menjaga agar setiap bentuk Pelayanan Gereja Katolik berjalan dalam semangat communio dan akuntabilitas. Tarekat religius memiliki peran yang tak tergantikan dalam sejarah pendidikan Katolik, namun peran tersebut seharusnya dijalankan dalam semangat kerjasama dengan hierarki, bukan dalam klaim individualistik atas “kepemilikan” institusi yang didirikan secara oleh otoritas Gereja[9].
Kesimpulan
Gereja Katolik dalam misinya mewartakan Sabda Allah dan meembentuk akal budi serta hati Nurani , menegaskan bahwa setiap lembaga Pendidikan Katolik baik sekolah maupun universitas katolik Tidak hanya Tunduk pada Hukum Sipil, tetapi harus dikelola sesuai dengan Hukum Gereja dan Identitas Katoliknya yang diakui secara resmi oleh otoritas Gereja.
Pengakuan atau status badan hukum sipil tidak pernah menghapus atau mengurangi keterikatan Lembaga Pendidikan Katolik pada norma-norma kanonik dan magisterial. Jika pengelolaan sebuah sekolah-universitas Katolik hanya bertumpu pada hukum sipil, maka akan muncul kecenderungan yang membahayakan yakni mengklaim bahwa sekolah atau universitas Adalah milik eksklusif kelompok, Yayasan atau pribadi tertentu – terlepas dari identitasnya sebagai bagian dari perutusan Gereja Katolik universal dan Gereja partikular.
Kanon 300 dan 312 §2 dan semua kanon dan Dokumen Gereja terkait memberikan fondasi yuridis yang jelas: tidak ada tarekat atau kelompok lain yang boleh menggunakan label “Katolik” atau mendirikan institusi kerasulan atas nama Gereja tanpa persetujuan otoritas Gereja. Dalam konteks lembaga pendidikan, persetujuan ini adalah ekspresi nyata dari persekutuan Gereja dan jaminan kesetiaan terhadap identitas Katolik. Setiap bentuk pengelolaan pendidikan Katolik oleh tarekat haruslah berjalan dalam dialog, transparansi, dan Kesetiaan pada hierarki Gereja demi menjaga integritas misi pendidikan Katolik itu sendiri.
Pengabaian norma kanonik membuka resiko klaim eksklusif yang memisahkan Lembaga penddidikan katolik dari misi Gereja. Hukum Sipil memberikan status legal di mata negara; Hukum Gereja memastikan kesetiaan pada iman, moral dan perutusan Kristus melalui peendidikan Katolik. Maka setiap pengelolaan Lembaga Pendidikan Katolik harus: pertama, Mengintegrasikan ketentuan hukum sipil dengan kewajiban kanonik; kedua, Mengakui dan penghormati wewenang Uskup Diosesan sebagai gembala utama dalam bidang Pendidikan Katolik; ketiga, Menjaga Identitas Katolik, baik dalam kebijakan, kurikulum, kepemimpinan, maupun tata Kelola.
Mari kita mengelola Lembaga Pendidikan Katolik bukan hanya dengan logika hukum sipil tetapi juga dengan kesetiaan pada Hukum Gereja Katolik dan dokumen resmi Magisterium. Dengan demikian sekolah dan universitas Katolik yang dipercayakan Otoritas Gereja untuk kita Kelola tetap menjadi milik Kristus dan Gereja, bukan sekadar badan hukum di mata dunia.
Bibliografi
Beal, John P., James A. Coriden, and Thomas J. Green, eds. New Commentary on the Code of Canon Law. New York/Mahwah: Paulist Press, 2000.
Caparros, Ernest, et al., eds. Code of Canon Law Annotated. Montréal: Wilson & Lafleur, 2004.
Codex Iuris Canonici. Code of Canon Law: Latin-English Edition. Vatican: Libreria Editrice Vaticana, 1983.
John Paul II. Ex Corde Ecclesiae: On Catholic Universities. Vatican City, 1990.
Pontifical Council for the Interpretation of Legislative Texts. Canonical Doctrine on Associations of the Faithful. Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1997.
Congregation for Catholic Education. The Identity of the Catholic School for a Culture of Dialogue. Vatican City, 2022.
Huels, John M. The Pastoral Companion: A Canon Law Handbook for Catholic Ministry. 3rd ed. Quincy: Franciscan Press, 2002.
[1] Codex Iuris Canonici (1983), Kanon 300
[2] Codex Iuris Canonici (1983), Kanon 312 §2
[3] Codex Iuris Canonici (1983), Kanon 801; 806§1
[4] Codex Iuris Canonici (1983), Kanon 807-808; 312 §§1-2
[5] Paus Yohanes Paulus II, Ex Corde Ecclesiae (1990), Artikel 3.
[6] Codex Iuris Canonici (1983), Kanon 381
[7] Codex Iuris Canonici (1983), Kanon 807-814; 114-123; 1301§1; 305§1; 323§1; 381§1; 392§§1-2; 394§1; 678§§1-2; 305§1; 323§1; 212§§1-3; 131§1
[8] Codex Iuris Canonici (1983), Kanon 300; 216; 803§3; 1375§2(Cic 2023)
[9] Codex Iuris Canonici (1983), Kanon 312§§1-2; 808-810§1; 114§1; 116§1; 1303§1, no.1; Ex Corde Ecclesiae, Artikel1§3; Kanon 1375; 1378
Terima kasih Romo untuk ulasan yang lugas, jelas dan relevan. Kami menanti selanjutnya
Selamat malam Romo Gabriel, terima kasih sudah membaca ulasan kami, tentu kami akan konsisten memberikan inspirasi tentang Hukum Gereja melalui Media ini. salam
Romo Gabriel Benu,Pr dan Para Sahabat Sabda dan Pena yang terkasih, mari kita berkolaborasi untuk memberi pencerahan melalui media ini. Salam Inspirasi dari Timor untuk Dunia. TYM
Setelah membaca ulasan ini saya semakin dicerahkan bahwa sebenarnya untuk segala sesuatu yang berhubungan dengan Gereja Katolik harus mendapat persetujuan dari Ordinaris Gereja.
Keren Usi Romo.. enak dibaca
Frater Jonry, salam jumpa lagi ya. Maaf baru buka website dan membaca komentarmu. Saya dengar berita bahwa frater sudah lanjut studi sebagai calon imam di salah satu keuskupan di Sumatera. Bertekunlah dalam panggilanmu hingga menjadi imam Diosesan yang siap melayani umat. Terima kasih sudah membaca tulisan ini