Keterlibatan Wajib Uskup Diosesan dalam Yayasan dan Universitas Katolik Menurut Hukum Kanonik dan Ex Corde Ecclesiae

Romo Yohanes Subani, Pr


Pendahuluan

chatgpt image aug 10, 2025, 08 34 09 pm

Peran Uskup Diosesan dalam menjaga identitas Katolik sebuah universitas atau yayasan Katolik tidak sekadar bersifat simbolik, melainkan normatif dan struktural dalam kerangka hukum Gereja. Kitab Hukum Kanonik 1983 dan konstitusi apostolik Ex Corde Ecclesiae memuat pengaturan yang secara eksplisit menuntut keterlibatan aktif uskup dalam menjaga kemurnian doktrin, kesatuan dengan Magisterium, serta integritas karya kerasulan lembaga-lembaga tersebut. Artikel ini menelusuri akar teologis dan yuridis dari peran tersebut serta menilai bagaimana implementasinya harus disesuaikan dengan konteks hukum sipil Indonesia yang kompleks.

Dalam konteks perkembangan pendidikan tinggi dan lembaga kerasulan Katolik dewasa ini, semakin diperlukan kejelasan atas batas dan kewajiban keterlibatan Uskup Diosesan. Ketegangan antara prinsip otonomi lembaga Katolik dan prinsip komunio eklesial menuntut refleksi ulang terhadap peran kegembalaan uskup dalam menjamin kesetiaan lembaga-lembaga itu terhadap iman Katolik. Kitab Hukum Kanonik 1983 dan Ex Corde Ecclesiae 1990 menjadi landasan utama dalam mengurai peran yang bersifat integral tersebut.

1. Dasar Teologis dan Eklesiologis Keterlibatan Uskup

Identitas dan misi Gereja sebagai sakramen keselamatan mengimplikasikan bahwa setiap bentuk kerasulan, termasuk pendidikan tinggi, harus tertanam dalam persekutuan dengan hierarki Gereja. Paus Paulus VI dalam Evangelii Nuntiandi menegaskan bahwa Gereja tidak menginjili secara otentik tanpa kesatuan dengan para gembala yang sah, terutama uskup sebagai penerus para rasul.[1] Hal ini dipertegas kembali oleh Paus Benediktus XVI yang menyatakan bahwa universitas Katolik bukan sekadar ruang akademik, tetapi bagian dari misi evangelisasi Gereja yang harus berjalan seiring dengan Magisterium.[2]

Dalam kerangka ini, uskup tidak sekadar menjadi penonton dalam karya pendidikan, melainkan pemilik tanggung jawab pastoral untuk menjamin agar karya itu tidak menyimpang dari ajaran iman. Seperti ditegaskan oleh Lumen Gentium, para uskup merupakan “guru otentik” iman, yang berbicara “atas nama Kristus.”[3] Dengan demikian, keterlibatan mereka dalam universitas atau yayasan Katolik merupakan konsekuensi dari hakikat tugas kegembalaan seorang uskup diosesan.

2. Tinjauan Hukum Kanonik 1983

Hukum Gereja mempertegas bahwa uskup memiliki yurisdiksi atas semua karya kerasulan di dalam keuskupannya, termasuk yang dijalankan oleh ordo religius atau lembaga awam. Kanon 394 §1 menyatakan bahwa uskup wajib mengatur semua kegiatan apostolik agar selaras dengan semangat Gereja lokal.[4] Dalam konteks pendidikan, kanon 806 secara eksplisit memberikan hak kepada uskup untuk mengunjungi dan mengawasi sekolah Katolik, bahkan jika pendirinya adalah tarekat religius.[5]

Kanon 812 lebih jauh menetapkan bahwa siapa pun yang mengajar teologi di lembaga pendidikan tinggi harus memiliki mandat (mandatum) dari uskup.[6] Mandat ini bukan formalitas, tetapi perwujudan otoritas magisterial lokal atas pengajaran iman. Menurut John P. Beal, hal ini menunjukkan bahwa “fungsi pengajaran teologi bukan sekadar profesi akademik, melainkan bagian dari pelayanan eklesial yang harus berada dalam persekutuan dengan Gereja.”[7]

Dalam komentarnya, Ernest Caparros menjelaskan bahwa mandatum bukan bentuk sensor, tetapi jaminan persekutuan antara pengajar dan Magisterium Gereja lokal.[8] Maka, Uskup memiliki hak dan kewajiban untuk memastikan bahwa ajaran yang diberikan tetap setia pada iman Katolik.

3. Penegasan dalam Ex Corde Ecclesiae 1990

Konstitusi apostolik Ex Corde Ecclesiae merupakan pedoman utama dalam regulasi universitas Katolik. Paus Yohanes Paulus II dalam dokumen ini menegaskan bahwa identitas Katolik universitas harus diwujudkan dalam kesetiaan pada doktrin dan kesatuan dengan hierarki Gereja.[9]

Artikel 5 §1 menyatakan bahwa tanggung jawab utama untuk menjaga identitas Katolik universitas memang terletak pada universitas itu sendiri, namun harus dilakukan dalam persekutuan dengan uskup diosesan.[10]  Makna teologisnya yaitu Universitas Katolik Adalah bagian dari tugas perutusan Gereja, maka kesatuan dengan Uskup sebagai gembaala Gereja local harus terjamin. Makna yuridi artikel ini yaitu memberikan kompetensi hukum kepada Uskup diosesan untuk menjaga, menilai dan bila perlu mengoreksi arah universitas Katolik. Makna Praksisnya yaitu Uskup tidak mencampuri penelitian ilmiah secara detail, tetapi mengawasi supaya Universitas tidak menyimpang dari iman. Artikel 5 §2 menegaskan bahwa setiap Uskup bertanggung jawab mengawasi universitas Katolik di wilayahnya dan menjamin bahwa identitas Katoliknya tetap terjaga.[11] Hubungan antara universitas Katolik harus ditandai dengan dialog, kerja sama, dan komunikasi yang konstruktif.  Jadi artikel 5§1 Ex Corde Ecclesiae tentang peran Uskup diosesan sebagai penanggungjawab utama atas identitas Katolik universitas di wilayahnya. Artikel 5§2 Ex Corde Ecclesiae tentang tanggungjawab Uskup diosesan untuk mendampingi universitas Katolik di wilayahnya dengan dukungan pastoral agar universitas Katolik setia pada misi penginjilan sekaligus unggul secara akademik dan dengan cara dialog, kerja sama dan penghormatan pada kebebasan akademik tanpa menyimpang dari ajaran iman dan moral Katolik.

Dalam komentar resminya, Kongregasi Pendidikan Katolik menjelaskan bahwa relasi antara universitas Katolik dan Uskup diosesan bukan bentuk kontrol administratif, tetapi ekspresi dari Communio Gereja yang konkret dalam dunia akademik.[12] Maka, keterlibatan uskup merupakan wujud konkret dari tanggung jawab hierarkis atas misi penginjilan.

4. Relevansi di Indonesia dan Tantangan Aktual

Kondisi Indonesia menghadirkan tantangan khusus dalam implementasi norma kanonik tersebut. Berdasarkan Undang-Undang Yayasan No. 28 Tahun 2004, yayasan memiliki struktur hukum sipil yang tidak selalu menyediakan ruang bagi keterlibatan Uskup secara langsung dalam organ pembina. Namun demikian, jika suatu yayasan menyebut dirinya “Katolik,” maka menurut kanon 300, kanon 216, penggunaannya harus memperoleh persetujuan dari otoritas Gereja.[13]

Banyak yayasan atau universitas Katolik di Indonesia didirikan oleh tarekat religius atau kelompok awam Katolik, yang terkadang memisahkan manajemen kelembagaan dari struktur Gereja lokal. Dalam banyak kasus, kehadiran Uskup tidak dijamin dalam struktur formal, yang pada akhirnya menyulitkan fungsi pengawasan pastoralnya. Dalam refleksi pastoralnya, Paus Fransiskus menegaskan bahwa identitas Katolik bukan sekadar label, tetapi harus mencerminkan hubungan nyata dengan otoritas Gereja.[14]

Oleh karena itu, perlu dibangun mekanisme formal yang menjamin keterlibatan moral dan yuridis Uskup, seperti melalui nota kesepahaman, klausul statuta, atau partisipasi dalam dewan etik rohani Lembaga-lembaga Pendidikan Katolik.

5. Penutup dan Rekomendasi

Keterlibatan Uskup Diosesan dalam yayasan dan universitas Katolik adalah bagian integral dari struktur gerejawi yang berlandaskan eklesiologi komunio dan tanggung jawab magisterial. Hukum Kanonik 1983 dan Ex Corde Ecclesiae 1990 memberikan dasar normatif yang menuntut keterlibatan aktif Uskup dalam menjaga identitas Katolik lembaga-lembaga Pendidikan Katolik tersebut.

Untuk konteks Indonesia, direkomendasikan agar:

1. Setiap yayasan dan universitas Katolik menjalin komunikasi formal dengan Uskup Diosesan.

2. Statuta yayasan memuat klausul pengakuan otoritas Uskup dalam hal iman dan moral.

3. Dibentuk dewan penasihat spiritual atau etik yang melibatkan perwakilan Keuskupan.

4. Dilakukan pembaruan struktural dan peraturan internal secara berkala agar selaras dengan norma-norma kanonik.

Dengan demikian, kesatuan antara lembaga Katolik dan Gereja lokal tetap terpelihara, dan misi evangelisasi dapat dijalankan secara efektif dan otentik.

Daftar Pustaka

Beal, John P., et al. New Commentary on the Code of Canon Law. New York: Paulist Press, 2000

Caparros, Ernest, et al. Exegetical Commentary on the Code of Canon Law. Vol. 3. Montreal: Wilson & Lafleur, 2004

Codex Iuris Canonici (CIC 1983). Latin-English Edition. Washington, DC: CLSA, 1999

Congregation for Catholic Education. The Application of Ex Corde Ecclesiae for the United States. 2000

John Paul II. Ex Corde Ecclesiae: On Catholic Universities. Vatican City, 1990

Vatican Council II. Lumen Gentium

Paulus VI. Evangelii Nuntiandi. Vatican City, 1975.

Benediktus XVI. Address to Catholic Educators, United States, 2008.

Fransiskus. Christus Vivit. Vatican City, 2019.


[1] Paus Paulus VI, Evangelii Nuntiandi,  Artikel 16.

[2] Benediktus XVI, Address to Catholic Educators in the United States, April 17, 2008

[3] Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, Artikel. 25

[4] Codex Iuris Canonici (1983), Kanon 394 §1

[5] Codex Iuris Canonici (1983), Kanon 806 §1

[6] Codex Iuris Canonici (1983), Kanon 812

[7] John P. Beal et al., New Commentary on the Code of Canon Law (New York: Paulist Press, 2000), 1023

[8] Ernest Caparros et al; Exegetical Commentary on the Code of Canon Law, vol. 3 (Montreal: Wilson & Lafleur, 2004), 1550

[9] Paus Yohanes Paulus II, Ex Corde Ecclesiae, pembukaan

[10] Paus Yohanes Paulus II, Ex Corde Ecclesiae, Artikel 5 §1

[11] Paus Yohanes Paulus II, Ex Corde Ecclesiae, Artikel 5 §2

[12] Congregation for Catholic Education, The Application of Ex Corde Ecclesiae for the United States, 2000

[13] Codex Iuris Canonici (1983), Kanon 300; 312, 216

[14] Paus Fransiskus, Christus Vivit, Artikel 221

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *