Pesta Salib Suci – Yohanes 3:13-17
1. Kutipan Teks Kitab Suci
“Tidak ada seorangpun yang telah naik ke surga, selain dari pada Dia yang telah turun dari surga, yaitu Anak Manusia. Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal. Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.” (Yoh 3:13-17)
2. Pembuka
Setiap kali kita melihat tanda salib, kita berjumpa dengan misteri kasih Allah yang mendalam. Salib bukan sekadar simbol penderitaan, bukan pula sekadar lambang yang digantung di dinding atau dipakai sebagai kalung. Salib adalah inti pewartaan Injil, karena di sanalah cinta Allah mencapai puncaknya. Injil Yohanes hari ini membawa kita menyelami makna terdalam dari kayu salib, bukan hanya sebagai peristiwa sejarah di Golgota dua ribu tahun lalu, melainkan sebagai realitas hidup yang terus berbicara kepada kita hingga saat ini.
3. Judul Refleksi
“Salib: Bukti Kasih yang Memberi Hidup”
4. Isi Refleksi
A. Apa arti salib?
Yesus menyinggung kisah Musa yang meninggikan ular tembaga di padang gurun, ketika bangsa Israel digigit ular berbisa. Mereka yang memandang ular itu diselamatkan dari maut. Peristiwa itu menjadi gambaran tentang Yesus yang harus ditinggikan di salib. Salib bukan sekadar kayu siksaan, tetapi sarana Allah menyatakan kasih-Nya. Di kayu salib, Yesus menanggung luka dosa dunia dan menghadiahkan hidup baru bagi setiap orang. Apa yang tampak sebagai instrumen kematian justru menjadi jalan menuju kehidupan kekal.
Salib adalah perjumpaan antara keadilan dan belas kasih. Di sana, dosa manusia diadili, tetapi cinta Allah juga ditawarkan. Maka salib bukan hanya “alat eksekusi Romawi”, melainkan tanda bahwa Allah rela turun ke kedalaman penderitaan manusia agar kita tidak lagi terikat oleh kuasa maut.
B. Siapa yang terlibat?
Teks Injil menampilkan tiga tokoh utama: Allah Bapa, Yesus Putra, dan kita manusia. Allah Bapa adalah sumber kasih. Dialah yang mengasihi dunia begitu rupa, sampai rela memberikan yang paling berharga: Anak-Nya yang tunggal. Yesus Kristus adalah Putra yang diutus, yang dengan ketaatan penuh menjalani jalan salib sampai akhir. Dan kita adalah penerima kasih itu. Dunia yang rapuh, dunia yang sering memilih dosa, justru dunia itulah yang dikasihi Allah. Tidak ada syarat selain percaya. Dengan iman, kita yang rapuh mendapat bagian dalam keselamatan.
Kisah ini menyingkapkan wajah Allah yang berbeda dari gambaran umum. Ia bukan hakim yang haus menghukum, tetapi Bapa yang rindu menyelamatkan. Yesus bukan pahlawan gagah dalam arti duniawi, tetapi Putra yang taat sampai wafat. Dan kita bukan hanya penonton, melainkan orang yang hidupnya dipertaruhkan di salib itu.
C. Di mana makna ini terjadi?
Peristiwa salib memang berlangsung di Golgota, di pinggir kota Yerusalem, sekitar tahun 30 Masehi. Namun maknanya tidak terbatas pada sebuah tempat atau masa tertentu. Salib hadir di setiap altar ketika Ekaristi dirayakan. Salib hadir di setiap rumah yang menggantungkan tanda itu di dinding. Salib hadir di setiap hati yang mau percaya.
Artinya, setiap ruang kehidupan bisa menjadi “Golgota” tempat kita berjumpa dengan kasih Allah. Di ruang kerja, ketika kita setia dalam tanggung jawab. Di rumah, ketika kita mengampuni anggota keluarga. Di jalan, ketika kita menolong sesama yang menderita. Semua ruang itu bisa menjadi tempat di mana salib Kristus dihidupi kembali.
D. Kapan kasih ini berlaku?
Kasih Allah yang nyata di salib adalah peristiwa sekali untuk selamanya. Yesus tidak perlu disalibkan ulang, karena pengorbanan-Nya cukup dan sempurna. Namun kuasa salib itu terus berlangsung sepanjang masa. Setiap kali kita percaya, kasih itu menjadi nyata lagi.
Dengan kata lain, “saatnya” salib adalah selalu: ketika kita jatuh, ketika kita bangkit, ketika kita bersukacita, bahkan ketika kita berduka. Kasih Allah yang tersalib tidak terikat waktu; Ia hadir sepanjang sejarah, sepanjang hidup kita.
E. Mengapa Allah memberikan Putra-Nya?
Jawabannya sederhana sekaligus menggetarkan: karena kasih. Allah tidak ingin manusia binasa dalam dosa. Kasih-Nya lebih kuat daripada kesalahan kita. Ia tahu kita sering menolak, namun Ia tetap mengasihi. Ia tahu kita rapuh, namun Ia tetap setia.
Alasan ini juga meneguhkan kita: kita berharga bukan karena jasa, bukan karena prestasi, melainkan karena Allah mengasihi kita lebih dulu. Salib adalah bukti bahwa kita dicintai sampai tuntas, tanpa syarat.
F. Bagaimana kita menanggapi?
Jawaban Injil jelas: dengan percaya. Percaya berarti menyerahkan diri, bukan sekadar menghafal ajaran. Percaya berarti memandang salib bukan hanya dengan mata, tetapi dengan hati. Percaya berarti membiarkan kasih Allah mengubah cara kita hidup.