chatgpt image sep 28, 2025, 01 48 37 pm

Aprobasi Uskup Diosesan: Pilar Identitas Universitas Katolik dalam Dialektika Hukum Sipil dan Hukum Gereja: Sebuah Pencerahan bagi Yayasan dan Universitas Katolik.

Romo Yohanes Subani, Pr

Universitas Katolik sering kali dipahami hanya sebagai lembaga pendidikan tinggi yang dikelola oleh sebuah yayasan berstatus badan hukum sipil. Karena itu, banyak yayasan merasa cukup dengan pengangkatan rektor melalui rapat pembina dan pengesahan notaris. Namun, Gereja menegaskan hal lebih mendalam: universitas Katolik bukan sekadar lembaga sipil, melainkan rahim iman dan ilmu, yang hanya sah menyandang nama “Katolik” bila berada dalam persekutuan dengan Uskup Diosesan.[1]

Ketegangan ini nyata: sebagian universitas Katolik tetap berjalan tanpa aprobasi uskup, dan menganggapnya tidak penting. Artikel ini menegaskan sebaliknya: tanpa aprobasi, universitas kehilangan fondasi kanonik, dan dengan itu kehilangan legitimasi identitas Katolik.

2. Dasar Kanonik Aprobasi

Kitab Hukum Kanonik 1983 menegaskan dua hal pokok:

Pertama, Kanon 808: Tidak ada lembaga pendidikan boleh menyandang nama “Katolik” tanpa persetujuan otoritas Gereja.[2]

Kanon 810 §2: Uskup Diosesan bertanggung jawab menjaga agar universitas Katolik setia pada iman dan moral.[3]

Selain itu, yang kedua, Ex Corde Ecclesiae menyatakan universitas Katolik ”Lahir dari Hati Gereja”dan karena itu harus berada dalam kesatuan dengan uskup diosesan.[4]

Dengan demikian, aprobasi bukanlah sekadar tanda simbolis, tetapi hakikat kanonik: universitas yang tidak mendapat aprobasi uskup tidak dapat mengklaim dirinya Katolik secara sah.

3. Kelemahan Model Sipil Tanpa Aprobasi

Banyak yayasan Katolik di Indonesia menekankan prosedur sipil dalam mengangkat rektor. Praktik ini menghasilkan beberapa kelemahan:

1. Identitas Katolik yang kabur: Universitas boleh tetap memakai nama “Katolik”, tetapi secara hukum Gereja statusnya dipertanyakan.

2. Relasi yang retak: Uskup Diosesan tidak dilibatkan, sehingga hubungan universitas–Gereja menjadi renggang.

3. Risiko pastoral: Mahasiswa tidak mendapat jaminan bahwa pendidikan yang diterima sungguh berakar pada iman Katolik.

4. Dualisme hukum: ketua Yayasan yang melantik seorang rektor Universitas Katolik hanya sah di mata negara berdasarkan hukum sipil , tetapi tidak sah di mata Gereja berdasarkan hukum Gereja.

Model ini bukan hanya lemah, tetapi bertentangan dengan prinsip dasar Gereja bahwa pendidikan Katolik harus berjalan dalam persekutuan.

4. Aprobasi sebagai Pilar Identitas Katolik

Aprobasi dari Uskup Diosesan memiliki tiga fungsi pokok:

1.Legitimasi Kanonik: Meneguhkan bahwa pengangkatan rektor sah bukan hanya menurut hukum sipil, tetapi juga sah dalam Gereja menurut Hukum Gereja.[5] Legitimasi kanonik: menjamin bahwa pengangkatan Rektor sesuai statute yang disetujui Gereja dan status”Katolik” yang diizin

2. Jaminan Iman dan moral-tutela fidei et morum: Uskup memastikan rektor memiliki integritas iman dan moral, sehingga universitas sungguh Katolik dalam isi dan semangatnya.[6]

3. Simbol Persekutuan: Aprobasi menegaskan relasi erat antara universitas dan Gereja lokal, sehingga karya akademik selalu berada dalam horizon perutusan Gereja.[7]

Tanpa Aprobasi, universitas mungkin tetap beroperasi, tetapi kehilangan dimensi Katolik yang otentik.

5. Tanggung Jawab Yayasan dan Rektor

Yayasan: wajib mengajukan permohonan aprobasi kepada uskup, karena yayasanlah yang memiliki kewenangan sipil.

Rektor: wajib menerima aprobasi dengan kerendahan hati, melalui Profesio Fidei (Syahadat) dan Ikrar Kesetiaan, sebagaimana dituntut Kanon 833 n.7.[8]

Uskup Diosesan: wajib menilai, meneguhkan, dan mengawasi agar universitas tetap berjalan sesuai identitas Katolik.

Dengan demikian, hubungan antara yayasan, rektor, dan uskup membentuk segitiga kesetiaan yang saling melengkapi: sipil–akademik–kanonik.

6. Perspektif Kontekstual: Pencerahan Kanonik

Konteks Pencerahan kanonik ini  menunjukkan bahwa iman dan pendidikan selalu berjalan bersama.  Universitas-universitas Katolik dipandang sebagai rahim yang melahirkan imam, religius, guru, dan pemimpin masyarakat. Karena itu, aprobasi bukan formalitas, melainkan roh yang memberi nyawa.

Model  Pencerahan kanonik ini dapat memberi pencerahan bagi dunia: bahwa universitas Katolik hanya dapat hidup subur bila taat pada dua hukum sekaligus—sipil dan Gereja—serta menjalin relasi erat dengan uskup.

7. Penutup

Bagi para pemimpin Yayasan dan Universitas Katolik, pesan ini jelas: aprobasi uskup adalah syarat mutlak, bukan pilihan opsional. Universitas yang berjalan tanpa aprobasi mungkin sah secara sipil, tetapi kehilangan legitimasi kanonik.

Maka, bila universitas Katolik sungguh ingin menjadi rahim iman dan ilmu, tempat iman dan akal budi berjumpa, dan menjadi terang bagi bangsa-bangsa, satu langkah fundamental harus dilakukan: kembali kepada uskup Diosesan, meminta aprobasi, dan meneguhkan persekutuan dengan Gereja.

Kiranya tulisan sederhana ini,  memberi pencerahan bahwa iman, hukum, dan ilmu hanya dapat bertahan bila dipadukan dalam semangat kesetiaan pada Gereja.

Daftar Pustaka

Beal, John P., et al. New Commentary on the Code of Canon Law. Paulist Press, 2000. ( Komentar atas kanon-kanon yang dikutip dalam tulisan ini)

Caparros, Ernest, et al. Exegetical Commentary on the Code of Canon Law. Midwest Theological Forum, 2004. ( Komentar atas kanon-kanon yang dikutip dalam tulisan ini).

John Paul II. Ex Corde Ecclesiae. Vatican, 1990.

John Paul II. Sapientia Christiana. Vatican, 1979.

Codex Iuris Canonici (1983). Libreria Editrice Vaticana.

Dokumen Konsili Vatikan II


[1] Codex Iuris Canonici ( CIC.1983), Kanon  807–814

[2] Codex Iuris Canonici ( CIC.1983), Kanon 808

[3] Codex Iuris Canonici ( CIC.1983), Kanon 810§2

[4] Paus Yohanes Paulus II, Ex Corde Ecclesiae, Artikel  1 dan 27

[5] Ex Corde Ecclesiae, Norma Umum Artikel 3 dan Artikel 1§3; Codex Iuris Canonici (CIC.1983 ), Kanon 808

[6][6] Codex Iuris Canonici ( CIC.1983 ), Kanon 810§§1-2; Kanon 812; Ex Corde Ecclesiae,  Artikel 4§§1-3

[7] Codex Iuris Canonici ( CIC. 1983), Kanon 209§§1-2; Lumen Gentium Artikel 23 dan 37; Christus Dominus Artikel 12-13 dan 35;  Gravissimum Educationis Artikel 10 dan 12

[8] Codex Iuris Canonici ( CIC.1983 ), Kanon 833 no.7

3 komentar untuk “Aprobasi Uskup Diosesan: Pilar Identitas Universitas Katolik dalam Dialektika Hukum Sipil dan Hukum Gereja: Sebuah Pencerahan bagi Yayasan dan Universitas Katolik.”

  1. Menyimak uraian Romo John dalam artikel ini saya sebagai orang awam lalu bertanya apakah Yapenkar dan Unwira sudah melaksanakan aprobasi kepada bapak uskup agung Kupang sebagai pimpinan gereja lokal di mana Yapenkar dan Unwira berlokus di situ ? Jika sudah melakukannya srtinya Yapenkar dan Unwira sudah berada pada jalur yang benar. Bila belum atau tidak dilakukan, dalam koridor etika di dalam di dalam gereja katolik, langkah apa yang harus di lakukan, agar tidak terkesan Yapenkar dan Unwira berseberangan dengan prinsip hukum kanonik ? Apakah Yapenkar dan Unwira akan melaksanakan hal ini. ? Bila tidak melakukan aprobasi ? Apaka Yapenkar dan Unwira harus menanggalkan Katolik pada nama ke dua lembaga ini. ? Bisa kah saya diberi pencerahan. ? Terima kasih atas respon dari Romo John

  2. Romo, ini tulisan bagus. Saya mau tanya: apakah Unika Kupang sudah memenuhi syarat abg universitas karolik, atau hanya urus sipil tanpa peduli dgn uskup. Jika demikian maka dibubarkan saja!z

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *