Romo Yohanes Subani, Pr
Pendahuluan
Dalam kehidupan Gereja Katolik, dinamika relasi antara imam religius (anggota tarekat/kongregasi) dan Uskup Diosesan kerap muncul ketika seorang religius berkarya dalam bidang kerasulan pendidikan. Yayasan, sekolah, dan universitas Katolik memiliki pengaruh besar terhadap formasi iman dan intelektual umat. Namun, masalah timbul bila karya tersebut dijalankan tanpa koordinasi atau izin dari Uskup Diosesan.
Pertanyaan yuridis sekaligus pastoral pun muncul: apakah seorang uskup memiliki kuasa untuk melarang imam religius berkarya dalam pengelolaan yayasan, sekolah, atau universitas Katolik di wilayah keuskupannya bila imam itu tidak menaati norma hukum Gereja?
Artikel ini menjawab pertanyaan tersebut dengan tinjauan kanonik (CIC 1983), dokumen resmi Gereja, dan refleksi pastoral, dengan fokus pada prinsip ketaatan klerikus (kan. 273), kewenangan uskup (Kanon 678–679), serta status hukum karya kerasulan pendidikan Katolik.
1. Landasan Teologis dan Eklesiologis Ketaatan
1.1 Ketaatan dalam Kitab Suci
Kitab Suci menegaskan pentingnya ketaatan terhadap pemimpin rohani: “Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu” (Ibr 13:17).[1] Kristus sendiri adalah teladan ketaatan mutlak, “Ia taat sampai mati di kayu salib” (Flp 2:8).[2] Dengan demikian, ketaatan imam, termasuk dalam bidang pendidikan Katolik, adalah perwujudan kesetiaan pada Kristus.
1.2 Ketaatan dalam Ajaran Gereja
Konsili Vatikan II menekankan ketaatan klerikus terhadap Uskup Diosesan (Presbyterorum Ordinis 7)[3] serta pentingnya koordinasi karya religius dengan uskup (Christus Dominus 33).[4] Universitas dan sekolah Katolik sebagai karya apostolik publik tidak bisa berjalan di luar otoritas uskup.
2. Aspek Yuridis: Kewajiban Klerikus dan Kewenangan Uskup
2.1 Kewajiban Klerikus (Kan. 273)
Klerikus memiliki kewajiban istimewa untuk menaati Paus dan ordinaris masing-masing (kan. 273).[5] Dalam konteks sekolah/universitas Katolik, ordinaris adalah Uskup Diosesan. Bila imam religius mengelola lembaga pendidikan tanpa mandat uskup, ia melanggar norma ini.
2.2 Karya Religius dan Otoritas Uskup (Kan. 678)
Kanon 678 §1–2 menegaskan bahwa religius wajib tunduk pada uskup dalam hal “cura animarum”, liturgi, dan karya kerasulan publik.[6] Sekolah dan universitas Katolik, karena sifatnya publik dan mempengaruhi iman umat, termasuk di bawah kategori ini.
2.3 Kuasa Uskup (Kan. 679)
Uskup dapat melarang religius berkarya di keuskupan jika perlu demi kebaikan umum (Kanon 679).[7] Ini berlaku juga pada kasus pengelolaan sekolah atau universitas Katolik yang tidak taat norma.
3. Sekolah dan Universitas Katolik dalam Hukum Gereja
3.1 Identitas Katolik
Menurut kanon 803, hanya sekolah yang didirikan atau disetujui oleh otoritas Gereja dapat disebut Katolik.[8] Kanon 808 menambahkan: “Nemo schola, etsi re vera catholica sit, titulum scholae catholicae sibi vindicet, nisi de consensu auctoritatis ecclesiasticae competentis” — tidak ada lembaga yang boleh menyebut dirinya “Katolik” tanpa persetujuan otoritas Gereja.[9]
Hal ini berlaku juga bagi universitas. Kanon 807–814 mengatur universitas Katolik yang harus berlandaskan iman Katolik dan berada di bawah pengawasan otoritas Gereja.[10]
3.2 Peran Uskup
Kanon 394 §1 mewajibkan Uskup untuk mengatur, mengarahkan, dan mengoordinasi semua karya kerasulan, termasuk lembaga pendidikan.[11] Dengan demikian, sekolah atau universitas Katolik yang dikelola tanpa keterlibatan Uskup bertentangan dengan hukum kanon.
4. Dimensi Pastoral
4.1 Menjaga Kesatuan
Jika imam religius mengelola sekolah atau universitas tanpa izin Uskup, umat bisa bingung mengenai otoritas yang sah. Ketaatan membantu menjaga kesatuan Tubuh Gereja.
4.2 Melindungi Umat
Sekolah dan universitas Katolik membentuk iman generasi muda. Uskup sebagai gembala utama memiliki tanggung jawab melindungi umat agar lembaga-lembaga itu sungguh Katolik.
4.3 Kesaksian Gereja
Ketaatan imam religius pada Uskup memberi teladan iman. Sebaliknya, pembangkangan bisa menjadi batu sandungan.
5. Tindakan Praktis Uskup
1. Dialog Pastoral: Pemanggilan imam religius bersama superior tarekatnya.
2. Dekret Larangan: Uskup dapat mengeluarkan larangan kerasulan (kanon 679).
3. Koordinasi dengan Takhta Suci: Bila masalah berlanjut, dapat dibawa ke Kongregasi untuk Pendidikan Katolik atau CICLSAL. CICLSAL adalah Congregatio pro Institutis Vitae Consecratae et Societatibus Vitae Apostolicae, dalam Bahasa Indonesia berarti: Kongregasi untuk Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan. Ini adalah salah satu diskateri Kuria Roma, kini dikenal dengan nama Diskateri untuk Lembaga Hidup bakti dan Serikat Hidup Kerasulan setelah reformasi Kuria oleh Praedicate Evangelium, 2022. Tugasnyas: mengurus, membina, dan mengawasi segala hal yang berkaitan dengan tarekat religius(biarawan/biarawati), Lembaga sekulir dan serikat hidup kerasulan dalam Gereja Katolik.
6. Studi Kasus Hipotetis
Misalkan seorang imam religius mengelola universitas Katolik di sebuah keuskupan tanpa izin Uskup Diosesan. Menurut kanon 808, lembaga itu tidak sah menyandang nama “Katolik.” Uskup berhak mengeluarkan dekret yang melarang imam itu berkarya di keuskupannya. Dengan demikian, meski imam tetap anggota tarekat, ia kehilangan mandat kerasulan publik di wilayah itu.
7. Universitas Katolik dan Ex Corde Ecclesiae
7.1 Latar Belakang
Pada tahun 1990, Santo Yohanes Paulus II menerbitkan Konstitusi Apostolik Ex Corde Ecclesiae sebagai pedoman utama bagi universitas Katolik di seluruh dunia.[12] Dokumen ini menegaskan bahwa universitas Katolik lahir dari hati Gereja (“ex corde Ecclesiae”) dan karenanya harus memelihara identitas Katoliknya.
7.2 Identitas Katolik dan Tanggung Jawab Uskup
Ex Corde Ecclesiae artikel 27 menegaskan bahwa identitas Katolik universitas diwujudkan dalam kesetiaan terhadap ajaran Gereja dan persekutuan dengan Hierarki.[13] Artinya, universitas Katolik tidak bisa berjalan terpisah dari Uskup Diosesan.
Lebih lanjut, artikel 28 menyebut bahwa Uskup Diosesan memiliki tanggung jawab khusus untuk memelihara dan meneguhkan identitas Katolik universitas di wilayahnya.[14] Dengan demikian, ketaatan imam religius yang terlibat dalam universitas Katolik bukan hanya kewajiban pribadi, melainkan keharusan eklesial agar lembaga tersebut tetap berakar dalam iman Katolik.
7.3 Keterlibatan Imam Religius
Banyak universitas Katolik didirikan dan dikelola oleh tarekat religius (misalnya Jesuit. Ex Corde Ecclesiae mengakui kontribusi besar religius, tetapi tetap menekankan koordinasi dengan Uskup Diosesan demi kesatuan Gereja.[15] Seorang imam religius yang mengelola universitas Katolik tanpa otorisasi uskup berarti menyalahi prinsip ini.
7.4 Relevansi Yuridis-Pastoral
Dengan mengacu pada Ex Corde Ecclesiae, jelas bahwa:
Universitas Katolik tidak sah mengklaim identitas Katolik tanpa persetujuan Uskup Diosesan.
Uskup memiliki hak dan kewajiban untuk mengawasi agar universitas sungguh mencerminkan ajaran Gereja.
Imam religius yang terlibat dalam universitas Katolik terikat ketaatan ganda: pada superior tarekat dan pada Uskup Diosesan, dengan prioritas dalam hal karya publik kepada otoritas Uskup.
Dengan kata lain, Ex Corde Ecclesiae menguatkan kanon 678–679 CIC dan memberikan dasar teologis-pastoral yang lebih dalam.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa:
1. Imam religius tetap imam dan anggota tarekatnya, tetapi dalam karya publik di bidang pendidikan (yayasan, sekolah, universitas), ia tunduk pada Uskup Diosesan.
2. Ketaatan kepada Uskup adalah kewajiban fundamental klerikus (Kanon 273), sekaligus ekspresi persatuan Gereja.
3. Uskup memiliki kuasa penuh untuk melarang religius berkarya (Kanon 679), bila terjadi pelanggaran norma atau demi kebaikan umum umat.
4. Sekolah dan universitas Katolik tidak sah menggunakan nama “Katolik” tanpa izin otoritas Gereja (Kanon 803, 808, 807–814).
5. Ex Corde Ecclesiae menegaskan bahwa universitas Katolik lahir dari hati Gereja, sehingga harus selalu berkomuni dengan Uskup Diosesan. Tanpa itu, identitas Katoliknya kehilangan fondasi.
6. Dari sisi pastoral, ketaatan ini penting untuk menjaga kesatuan, melindungi umat, dan memberi kesaksian iman yang otentik.
Dengan demikian, jawaban yuridis-pastoralnya jelas: Uskup Diosesan berkuasa melarang imam religius yang tidak taat untuk mengelola yayasan, sekolah, atau universitas Katolik di wilayah keuskupannya.
Daftar Pustaka
Codex Iuris Canonici. 1983. Codex Iuris Canonici auctoritate Ioannis Pauli PP. II promulgatus. Vatican: Libreria Editrice Vaticana.
Katekismus Gereja Katolik. 1992. Libreria Editrice Vaticana.
Konsili Vatikan II. Presbyterorum Ordinis. 1965.
Konsili Vatikan II. Christus Dominus. 1965.
Yohanes Paulus II. Pastores Dabo Vobis. 1992.
Congregation for Catholic Education. Ex Corde Ecclesiae. 1990.
Beal, John P., James A. Coriden, and Thomas J. Green (eds.). New Commentary on the Code of Canon Law. New York/Mahwah: Paulist Press, 2000.
Caparros, Ernest, et al. Exegetical Commentary on the Code of Canon Law. Chicago/Montreal: Midwest Theological Forum & Wilson & Lafleur, 2004.
[1] Ibrani 13:17.
[2] Filipi 2:8.
[3] Konsili Vatikan II, Presbyterorum Ordinis, no. 7.
[4] Konsili Vatikan II, Christus Dominus, no. 33.
[5] CIC 1983, Kanon 273.
[6] CIC 1983, Kanon 678 §§1-2
[7] CIC 1983, Kanon 679.
[8] CIC 1983, Kanon 803 §1.
[9] CIC 1983, Kanon 808.
[10] CIC 1983, Kanon 807–814.
[11] CIC 1983, Kanon 394 §1.
[12] Yohanes Paulus II, Ex Corde Ecclesiae (Konstitusi Apostolik tentang Universitas Katolik), 1990.
[13] Ibid., art. 27.
[14] Ibid., art. 28
[15] Ibid., Proemium dan art. 7.