chatgpt image aug 20, 2025, 12 19 22 pm

Opini

Kepemimpinan Ex Officio dalam Yayasan Pendidikan Katolik: Tinjauan Hukum Kanonik dan Aplikasinya

Oleh: Rm. Yohanes Subani, Pr

Dalam tata kelola lembaga pendidikan Katolik, kerap ditemukan jabatan yang dipegang secara Ex Officio, yakni jabatan tambahan yang otomatis melekat pada jabatan utama yang diemban seseorang. Misalnya, seorang pemimpin provinsial tarekat yang secara Ex Officio menjadi ketua pembina sebuah yayasan pendidikan Katolik. Permasalahan timbul ketika masa jabatan provinsial berakhir, tetapi yang bersangkutan tetap menjalankan peran sebagai ketua pembina. Apakah tindakan tersebut sah menurut Hukum Gereja? Apakah putusan-putusan yang diambilnya mengikat anggota dan bawahan?

Tulisan ini berupaya memberikan pencerahan ilmiah dengan menelaah prinsip Ex Officio dalam Hukum Gereja, aplikasinya dalam pengelolaan yayasan Katolik, dan solusi praktis bagi situasi di mana jabatan tersebut dijalankan tanpa kewenangan yang sah.

1. Pengertian Ex Officio

Istilah Ex Officio berasal dari bahasa Latin, yang berarti “berdasarkan jabatan” atau “karena menduduki suatu jabatan tertentu.” Dalam praktik kanonik, jabatan Ex Officio bukanlah jabatan yang berdiri sendiri, melainkan melekat pada jabatan pokok yang diemban seseorang.[1] Selama jabatan pokok itu dipegang, jabatan Ex Officio juga berlaku; sebaliknya, ketika jabatan pokok berakhir, misalnya masa jabatan sebagai provinsial sudah berakhir,  jabatan Ex Officio ikut berakhir secara otomatis.

2. Dasar Hukum Kanonik

Kitab Hukum Kanonik 1983 memberikan prinsip-prinsip umum yang mengatur berakhirnya jabatan gerejawi:

Kanon 145 §1–2: Jabatan gerejawi (Officium Ecclesiastici) adalah setiap tugas yang diberikan secara stabil untuk tujuan Rohani atau spiritual, yang harus diberikan menurut norma hukum.

Kanon 184 §1: Jabatan berakhir karena batas waktu yang ditentukan, pencapaian usia, pengunduran diri, pemindahan, pemecatan, atau pencabutan jabatan.

Kanon 316 §1: Anggota badan publik Gereja kehilangan haknya jika tidak lagi memenuhi syarat keanggotaan yang ditentukan hukum atau statuta.

Dengan demikian, bila statuta yayasan menyebut bahwa ketua pembina dijabat Ex Officio oleh provinsial, maka berakhirnya jabatan provinsial secara otomatis mengakhiri jabatan ketua pembina di yayasan.

3. Putusan yang Tidak Sah dan Kekuatan Mengikatnya

Prinsip ketaatan dalam Gereja mensyaratkan bahwa perintah atau keputusan hanya mengikat jika berasal dari otoritas yang sah. Kanon 124§1 menegaskan kompetensi atau kemampuan yuridis  sebagai syarat sah suatu Tindakan yuridis. Agar suatu Tindakan hukum sah dituntut adanya kompetensi pelaku.

Kanon 41  menyatakan bahwa bawahan tidak wajib melaksanakan perintah yang secara nyata melanggar hukum atau dikeluarkan oleh pihak yang tidak memiliki kewenangan.

Kanon 125 §1 menegaskan bahwa tindakan hukum yang dilakukan tanpa kebebasan atau tanpa kewenangan sah adalah batal demi hukum (nulla et irrita).

Artinya, jika mantan provinsial yang sudah tidak berwenang tetap mengambil keputusan sebagai ketua yayasan, keputusan itu tidak sah dan tidak mengikat anggota maupun bawahan.[2] Dalam bahasa hukum, putusan tersebut cacat legitimasi dan dapat diabaikan demi menjaga keteraturan hukum Gereja.

4. Konsekuensi Pastoral dan Administratif

Keberlanjutan jabatan Ex Officio setelah jabatan utama berakhir dapat memunculkan masalah serius:

1. Kebingungan struktural, karena tidak jelas siapa pemegang otoritas sah.

2. Cacat yuridis, yang membuat keputusan-keputusan berisiko batal demi hukum.

3. Potensi konflik internal, jika ada pihak yang mempertanyakan legalitas keputusan.

Secara pastoral, situasi ini dapat melemahkan kepercayaan umat terhadap tata kelola Gereja, terutama dalam karya pendidikan.

5. Langkah Korektif yang Dianjurkan

Berdasarkan prinsip hukum Gereja dan negara, langkah yang tepat untuk memulihkan tata kelola yayasan adalah:

1. Konfirmasi statuta yayasan untuk memastikan ketentuan Ex Officio.

2. Rapat luar biasa dewan pembina untuk menegaskan berakhirnya jabatan yang tidak sah, dan mengangkat pejabat baru yang sah.[3]

3. Koordinasi dengan Uskup Diosesan, sesuai Mutuae Relationes[4]  demi keselarasan pastoral.

4. Pelaporan administratif ke Kementerian Hukum dan HAM sesuai UU No. 16/2001 jo. UU No. 28/2004 tentang Yayasan.

6. Penegasan Hukum dan Pastoral

Dalam kasus yang dibahas, imam yang sudah tidak menjabat sebagai provinsial tidak lagi berwenang bertindak sebagai ketua pembina yayasan pendidikan Katolik yang jabatannya bersifat Ex Efficio.

Secara hukum kanonik, jabatannya telah berakhir secara otomatis[5]

Secara hukum negara, statusnya tidak lagi sah menurut statuta yayasan dan UU Yayasan.

Secara moral-pastoral, keputusan yang diambilnya tidak mewajibkan anggota atau bawahan, sesuai kanon.[6]

Kesimpulan

Jabatan Ex Officio adalah jabatan turunan yang sepenuhnya bergantung pada keberlangsungan jabatan pokok. Ketika jabatan pokok berakhir, jabatan Ex Officio gugur dengan sendirinya. Setiap keputusan yang diambil oleh pihak yang tidak lagi memiliki otoritas sah bersifat tidak mengikat dan dapat dinyatakan batal demi hukum. Demi menjaga tata kelola yang rapi dan transparan, Dewan Pembina Yayasan Katolik perlu bertindak cepat dengan langkah korektif yang sesuai hukum Gereja dan negara.

Ajakan untuk Mematuhi Norma Kanonik Demi Bonum Commune

Para Sahabat Sabda dan Pena terkasih,

Dalam setiap karya Gereja, termasuk dalam tata kelola yayasan Katolik, kita dipanggil untuk berjalan dalam terang hukum Gereja yang bijaksana. Norma kanonik bukanlah sekadar aturan kaku, melainkan pagar kasih yang menjaga keutuhan hidup bersama.

Kitab Hukum Kanonik dengan tegas mengingatkan bahwa hanya keputusan yang diambil oleh pemimpin sah dan berwenanglah yang memiliki kekuatan mengikat (Kan. 124; 135; 140). Keputusan yang lahir dari pihak yang tidak berkompeten adalah batal demi hukum dan tidak mewajibkan bawahan untuk mentaatinya. Hal ini bukan untuk melemahkan wibawa pribadi, melainkan untuk melindungi martabat komunitas dan menjamin bonum commune—kebaikan bersama.

Karena itu, mari kita:

1. Setia pada norma kanonik, agar setiap keputusan sungguh sah dan berdaya guna.

2. Menghargai struktur dan otoritas yang sah, demi kesatuan Gereja.

3. Menjaga hati dalam kasih persaudaraan, tanpa melawan pribadi, namun dengan teguh berpegang pada kebenaran hukum dan iman.

Dengan mematuhi norma kanonik, kita sedang menghidupi iman kita secara konkret: membangun tata kelola yang adil, transparan, dan bermuara pada keselamatan jiwa-jiwa (salus animarum), yang adalah hukum tertinggi Gereja (Kan. 1752).

Daftar Pustaka

Codex Iuris Canonici ( 1983)

Instruksi Mutuae Relationes antara Uskup Diosesan dan Pemimpin Lembaga Hidup Bakti, Kongregasi untuk Para Uskup & Kongregasi untuk Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Apostolik, 1978.

Congregation for Institutes of Consecrated Life, Ecclesiae sponsae Imago (2018)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 jo. UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.


[1] Codex Iuris Canonici (CIC) 1983, Kanon 145 §1–2.

[2] Codex Iuris Canonici (1983), Kanon 124§1,

[3] Codex Iuris Canonici (1983), Kanon 186; Kanon 1276

[4] Mutuae Relationis, Artikel 13-15; Instruksi Ecclesiae Sponsae Imago (2018) arikel 34

[5] Codex Iuris canonici (1983) 184§1

[6] Codex Iuris canonici (1983), Kanon 135§3; 124§1; Kanon 1276

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *