chatgpt image oct 11, 2025, 09 14 45 pm

OTORITAS PENDIRI BADAN HUKUM PUBLIK GEREJA KATOLIK: SEBUAH TINJAUAN YURIDIS-KANONIK.

Rm. Yohanes Subani, Pr

Tulisan ini membahas peranan otoritas Gerejawi sebagai pendiri badan hukum publik dalam Gereja Katolik menurut Kitab Hukum Kanonik 1983. Dengan pendekatan teologis-yuridis, artikel ini menyoroti dasar teologis pendirian badan hukum publik, batas kewenangan otoritas Gerejawi, serta hubungan hukum antara lembaga Gereja dan hukum sipil. Penelitian menegaskan bahwa tindakan “erectio canonica” bukan sekadar legalitas administratif, tetapi ungkapan nyata dari “munus regendi” (tugas menggembalakan/memerintah

1. Pendahuluan

Dalam tata hukum Gereja, tidak semua kelompok atau lembaga yang menggunakan nama “Katolik” otomatis menjadi bagian dari struktur hukum Gereja. Sebagaimana ditegaskan oleh Codex Iuris Canonici (kan. 113 §2), hanya entitas yang dibentuk oleh otoritas Gerejawi yang berwenang dapat memiliki  status badan hukum publik dan bertindak atas nama Gereja.[1]

Hal ini menunjukkan bahwa dasar eksistensi lembaga Gerejawi bukan pada inisiatif pribadi umat beriman tertahbis, terbaptis dan berkaul, melainkan pada kehendak Gereja yang dilembagakan melalui otoritasnya yang sah. Dengan demikian, persoalan “otoritas pendiri” memiliki bobot teologis sekaligus yuridis, sebab menyangkut otoritas yang bertindak “in persona Ecclesiae” atau atas nama Gereja.[2]

2. Landasan Teologis dan Kanonik

Badan hukum publik dalam Gereja Katolik berakar pada pemahaman bahwa Gereja adalah societas hierarchica, yaitu komunitas berjenjang yang dibentuk oleh Kristus dan dipimpin oleh para gembala (kan. 204 §2).[3]

Setiap tindakan hukum dalam Gereja, termasuk pendirian Lembaga seperti Universitas dan Yayasan Katolik, menjadi partisipasi dalam misi Kristus sendiri. Maka, tindakan otoritas Gerejawi yang mendirikan badan hukum publik bukan sekadar urusan administratif, melainkan partisipasi dalam karya keselamatan Gereja.

Kanon 116 §1 menegaskan bahwa badan hukum publik atau “persona iuridica publica” dibentuk oleh otoritas Gerejawi untuk melaksanakan tugas yang sesuai dengan misi Gereja. Sebaliknya, badan hukum privat  atau “persona iuridica private” lahir dari inisiatif umat beriman, tanpa bertindak atas nama Gereja.[4]Dengan demikian, perbedaan status ini sangat menentukan: yang publik bertindak “in nomine Ecclesiae”, sedangkan yang privat bertindak ” in nomine proprio”.[5]

3. Siapa Otoritas Pendiri yang Sah

Pertanyaan mengenai siapa yang memiliki kewenangan untuk mendirikan badan hukum publik dijawab secara eksplisit oleh kanon 312. Menurut norma tersebut, ada tiga tingkatan otoritas yang dapat mendirikan asosiasi publik Gereja:

1. Tahta Suci, untuk lembaga yang bersifat universal atau internasional;

2. Konferensi Waligereja, untuk lembaga yang berskala nasional;

3. Uskup Diosesan, untuk lembaga yang berdiri dalam wilayah keuskupannya.[6]

John P. Beal menegaskan bahwa “no juridic person can exist in the Church unless it is established by competent ecclesiastical authority” — tidak ada badan hukum yang sah dalam Gereja tanpa tindakan pendirian dari otoritas Gerejawi yang berwenang.[7]Dengan demikian, sekalipun sebuah lembaga Katolik didirikan oleh individu atau kelompok religius dengan maksud baik, lembaga itu tidak memiliki status badan hukum publik sebelum mendapat “erectio canonica” dari otoritas Gerejawi yang sah.

4. Perbedaan Inisiator dan Pendiri Gerejawi

Dalam banyak konteks pastoral, sering muncul kebingungan antara “inisiator” dan “pendiri.”“Inisiator” adalah pihak yang mengusulkan, menyediakan dana, dan menyiapkan rancangan peraturan internal. Sementara itu, “pendiri” dalam arti kanonik adalah otoritas Gerejawi yang secara sah melakukan tindakan “erectio canonica”.[8]

John P. Beal, at al menjelaskan bahwa tindakan pendirian Gerejawi adalah ekspresi dari otoritas mengajar dan menggembalakan atau memerintah “munus regendi”, karena hanya Uskup Diosesan atau Tahta Suci yang dapat memberi legitimasi publik kepada suatu lembaga Gereja.[9]Artinya, tanpa tindakan pendirian oleh otoritas Gerejawi, lembaga itu tetap bersifat privat meski secara sipil telah sah. Proses “erectio canonica” menjadi tanda yuridis yang menghubungkan lembaga tersebut dengan Gereja secara struktural dan teologis.

5. Fungsi dan Tanggung Jawab Otoritas Pendiri

Kewenangan otoritas pendiri tidak berhenti pada momen pendirian. Kanon 305 §1 dan 323 §1 menegaskan bahwa otoritas Gerejawi memiliki hak dan kewajiban untuk mengawasi lembaga publik Gereja agar tetap setia pada ajaran dan misi Gereja.[10]Hal ini berarti otoritas pendiri harus menjamin bahwa lembaga tersebut menjalankan kegiatannya sesuai dengan tujuan Gereja dan tetap menjaga identitas Katoliknya.

Dalam konteks universitas Katolik, Ex Corde Ecclesiae (1990) menegaskan bahwa status universitas Katolik memerlukan aprobasi atau pengakuan resmi dari otoritas Gerejawi, serta adanya mandatum ecclesiasticum bagi para pengajar teologi.[11]Dengan demikian, otoritas pendiri berperan sebagai penjamin kebenaran iman dan moral dalam setiap karya publik Gereja Katolik.

6. Situasi dan Relevansi Kontekstual di Indonesia

Dalam konteks Indonesia, lembaga Katolik biasanya berbentuk yayasan sipil berdasarkan Undang-Undang Yayasan No. 16 Tahun 2001 jo. No. 28 Tahun 2004. Secara hukum negara, lembaga tersebut sah dan diakui. Namun, menurut hukum Gereja, status Katoliknya belum lengkap tanpa “erectio canonica” atau sekurang-kurangnya “aprobasi” dari Uskup Diosesan.[12]Instruksi On the Ecclesial Nature of Catholic Institutions (Kongregasi bagi Ajaran Iman, 2018) menegaskan bahwa identitas Katolik suatu lembaga harus dijamin oleh otoritas Gerejawi, bukan hanya oleh niat baik para pendirinya.[13]

Dengan demikian, penting bagi semua lembaga Katolik di Indonesia  termasuk universitas dan sekolah Katolik  serta Yayasan Katolik untuk memastikan bahwa status sipilnya disertai pengakuan kanonik dari Uskup setempat. Tanpa itu, lembaga tersebut dapat kehilangan hak menggunakan nama “Katolik” ( kanon 300).

7. Refleksi Pastoral

Fenomena banyaknya lembaga Katolik tanpa aprobasi Gerejawi menunjukkan perlunya pembaruan pastoral hukum Gereja di bidang kelembagaan. Para Uskup hendaknya membentuk tim atau kantor khusus yang mendampingi proses legalisasi kanonik lembaga Katolik agar berjalan sinergis dengan hukum sipil.

Pendekatan ini tidak sekadar formalitas, tetapi bagian dari kesetiaan terhadap prinsip kesatuan Gereja: bahwa setiap lembaga yang mengemban nama Katolik harus berdiri atas dasar misi Gereja yang satu dan universal.[14]Dengan kata lain, “erectio canonica” adalah tindakan pastoral yang menjamin kesatuan iman, bukan sekadar urusan hukum. Ia menjadi tanda bahwa Gereja hadir secara nyata melalui karya lembaga tersebut.

8. Kesimpulan

Otoritas pendiri badan hukum publik dalam Gereja Katolik adalah otoritas Gerejawi yang bertindak atas nama Gereja: Paus, Konferensi Waligereja, atau Uskup Diosesan sesuai wilayah yurisdiksinya. Tanpa “erectio canonica;” lembaga Katolik tidak memiliki legitimasi bertindak atas nama Gereja.

Dalam konteks Indonesia, diperlukan kerja sama yang erat antara yayasan sipil dan otoritas Gerejawi untuk memastikan kesatuan antara hukum negara dan hukum Gereja, agar lembaga Katolik benar-benar menjadi sarana evangelisasi dan kesaksian iman yang sah, legal, dan profetis di tengah masyarakat.[15]

Daftar Pustaka

Beal, John P., Coriden, James A., & Green, Thomas J. (eds.). New Commentary on the Code of Canon Law. New York: Paulist Press, 2000.

Codex Iuris Canonici. Vatican: Libreria Editrice Vaticana, 1983.

Congregation for the Doctrine of the Faith. Instruction on the Ecclesial Nature of Catholic Institutions. Vatican City, 2018.

John Paul II. Ex Corde Ecclesiae. Vatican City, 1990.


[1] Codex Iuris Canonici (CIC.1983), Kanon 113 §2

[2] Codex Iuris Canonici (CIC.1983), Kanon 116§1 ; Beat et al; New Commentary, hal.161-162

[3] Codex Iuris Canonici (CIC.1983), Kanon 204 §2

[4] Codex Iuris Canonici (CIC.1983), Kanon  116 §1

[5] Beal et al., New Commentary, hal. 154-162

[6] Codex Iuris Canonici (CIC.1983), Kanon 312

[7] Beal et al., New Commentary, 156

[8] Codex Iuris Canonici ( CIC.1983), Kanon 114,116, 117, 312-313;

[9] Codex Iuris Canonici ( CIC.1983), Kanon 114, 116, 117, 312-313 , Beal at al, New Commentary, hal 154-163

[10] Codex Iuris Canonici (CIC.1983), Kanon  305 §1; 323 §1

[11] Yohanes Paulus II, Ex Corde Ecclesiae, art. 3

[12] UU Yayasan No. 16/2001 jo. 28/2004;  Codex Iuris Canonici ( 1983), Kanon 300

[13] Congregation for the Doctrine of the Faith, Instruction on the Ecclesial Nature of Catholic Institutions (2018), Artikel 6

[14] Beal et al., New Commentary, 159

[15] Codex Iuris Canonici (CIC.1983), Kanon 22, 1290-1297

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *